Kamis, 02 Maret 2017

Orang Yang Paling Kaya Menurut Al-Qur’an dan Sunnah


“Bermegah-megahan (dengan banyak harta) telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. (Q.S. At-Takaatsur 102:1-2).

Dilihat dari sudut kacamata ekonomi, orang yang paling kaya mungkin adalah yang paling banyak uang atau hartanya, walau pun ia tidak beriman dan bertakwa serta walau pun kikirnya luar biasa. Namun kenyataan membuktikan orang yang bergelimang harta dan yang mempunyai uang simpanan dalam jumlah fantastis di berbagai bank besar, banyak juga yang gelisah, misalnya dicekam perasaan takut mati yang berlebihan.

Di sisi lain, bahkan ada hartawan yang hubungannya dengan pasangan hidupnya tak harmonis, selalu diterpa badai rumah tangga yang tak berakhir. Menurut kacamata tauhid, hartawan seperti ini pada hakikatnya miskin, walau pun uang dan hartanya tak terhitung jumlahnya.

Tentang kaya dan miskin, menurut Al-Qur’an dan Sunnah, ada manusia yang miskin di dunia dan miskin pula di akhirat. Sebaliknya ada pula yang kaya di dunia juga kaya di akhirat. Ironisnya ada pula yang kaya di dunia, miskin di akhirat. Tentang orang yang miskin di akhirat, Al-Imam At-Tirmidzi di dalam sunannya, (No. 2342) meriwayatkan bahwa Abu Hurairah RA mengabarkan bahwa Rasulullah SAW pernah pada suatu hari bertanya kepada para sahabat:

“Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut dalam konteks Islam)? “Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut menurut kami ya Rasulullah, ialah orang yang tidak mempunyai dirham (uang) dan (tak punya) harta benda”. Rasulullah SAW berkata: “Orang yang bangkrut di kalangan umatku ialah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, shaum (puasa) dan zakat, tetapi ia datang dengan membawa (dosa) memaki si A, menuduh si B, memakan harta si C (termasuk memakan uang hasil hutang yang diniatkan untuk tidak dibayar), menumpahkan darah si D dan memukul si E, maka diambil kebaikannya lalu diberikan kepada orang yang di zaliminya. Kalau ternyata kebaikannya sudah habis, sedang dosanya masih ada, maka dosa orang yang dizaliminya itu dipikulkan kepadanya, lalu akhirnya dilemparkanlah ia ke dalam neraka…”. (HR Muslim).

Orang yang bangkrut (muflis) yang dimaksudkan oleh hadis di atas, yaitu seseorang ketika hidup di dunia mungkin saja kaya harta, tetapi di akhirat ia menjadi muflis atau miskin. Kalau diharuskan memilih, jauh lebih baik miskin di dunia, asal berbahagia di akhirat dengan masuk surga, dari pada di dunia kaya raya (banyak harta) tetapi di akhirat menjadi muflis, sehingga menderita lahir batin dengan derita yang lisan dan tulisan takkan mampu mengungkapkan betapa berat dan dahsyatnya.

Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: “Siapa yang menzalimi saudaranya, baik menyangkut kehormatan saudaranya itu atau apa saja, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari saudaranya tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang suatu hari dimana) tidak ada lagi dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang dilakukan pada hari kiamat). Bila ia memiliki amal saleh, amal tersebut diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (untuk diberikan kepada orang yang dizaliminya sebagai tebusan / pengganti kezaliman yang pernah dilakukannya). Namun bila ia tidak mempunyai kebaikan maka diambil dosa-dosa orang yang pernah dizaliminya, lalu dipikulkan kepadanya”. (HR. Bukhari).

LEBIH BAIK MISKIN DI DUNIA
Berdasarkan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa menurut kacamata Islam, lebih baik miskin di dunia, asal kaya di akhirat dari pada kaya di dunia, tetapi miskin di akhirat.

Di dalam hadits lain dikatakan, bahwa Rasulullah SAW pernah memohonkan al-ghinaa (kaya) kepada Allah SWT, lafaznya ialah: “Allahumma innii as-alukal hudaa wat-tuqaa wal ‘afaafa wal ghina”. (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaaf dan al-ghina). (HR. Muslim).

Kata al-ghina termasuk kata yang multi makna, yang salah satu maknanya ialah kekayaan. Tetapi di dalam hadits dikatakan bahwa yang dikatakan ghina ialah ghinan nafs, kaya jiwa. Nabi SAW bersabda: “Kekayaan bukan karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati”.

Makna ini sejalan dengan makna hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban, Abu Dzar RA berkata: “Rasulullah SAW berkata padaku:“Wahai Abu Dzar, menurutmu, apakah banyaknya harta yang dinamakan kekayaan?” “Benar”, jawab Abu Dzar. Nabi bertanya lagi: “Apakah menurutmu sedikitnya harta berarti fakir?” “Betul”, Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Nabi lalu bersabda: “Sesungguhnya kekayaan adalah kayanya hati (hati selalu merasa cukup), sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati selalu merasa tidak puas).

TIDAK MENGHARAPKAN
Hal itu sejalan pula dengan apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib RA: “Kekayaan terbesar adalah tidak mengharapkan apa yang ada di tangan manusia”. Orang yang benar-benar mempertuhankan dan mentauhidkan Allah SWT, hanya mengharapkan apa yang ada pada Allah dan tidak mengharapkan apa yang ada pada manusia. Maka orang yang bertauhid berarti orang kaya.

Tentang makna al-‘afaaf di dalam hadis di atas, An-Nawawi RHM mengatakan: “Al-‘afaaf di dalam hadits ini bermakna manjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan, sedangkan al-ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang di sisi manusia”. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1741).

Masih tentang kaya hati, ulama mengatakan: Kaya hati adalah merasa cukup terhadap apa yang engkau butuhkan. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari juga, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), tetapi miskin hati.

Hal ini sejalan dengan ucapan Al-Imam Nawawi RHM: “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambahnya. Siapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah kekayaan yang sudah ada, ia tentu tidak pernah merasa puas dan ia berarti bukan orang yang kaya hati”.

Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Sebab Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda: “Tidak apa-apa dengan kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang-orang yang bertakwa lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.’

TIDAK PERNAH MERASA CUKUP
Kaya harta itu tidak tercela. Yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qana’ah) dengan apa yang Allah SWT berikan. Padahal Abdullah bin Amir bin Al-‘Ash mengabarkan Rasulullah SAW bersabda:  

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya”. (HR. Muslim No. 1054). Semoga Allah menganugerahi kita akan al-ghina, sehingga hati kita merasa cukup dan bersyukur terhadap apa yang diberikan-Nya.

Di komunitas tertentu, orang yang paling dihormati terkadang bukan orang yang paling bertakwa, tetapi orang yang paling banyak uangnya. Semakin banyak uangnya biasanya akan semakin tinggi penghargaan masyarakat terhadap dirinya walau pun ia bukan seorang hamba Allah yang saleh dan bukan pula dermawan yang memberikan banyak kontribusi terhadap masyarakat lemah yang membutuhkan bantuan. Padahal manusia yang paling mulia di sisi Allah bukan yang paling banyak hartanya bukan pula yang paling tinggi tingkat pendidikan formalnya, tetapi yang lebih tinggi tingkat takwanya, sebagaimana firman Allah SWT: “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S Al-Hujuraat 49:13).

TAPI SOMBONG DAN KIKIR
Seorang hartawan muslim, hartanya melimpah ruah, tapi sombong, dan kikir. Kekayaan hartanya tidak pernah digunakan di jalan Allah, sekalipun ia menolong orang, selalu mempunyai tujuan yang menguntungkan bagi dirinya. Orang seperti ini tidaklah lebih mulia dibandingkan dengan orang yang hidupnya sederhana, tapi kepeduliannya terhadap orang miskin dan agamanya sangat tinggi. Orang seperti ini dihadapan Allah, lebih mulia, karena dirinya bermanfaat bagi masyarakat banyak, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”.

Apa guna kaya raya, jika manfaatnya terhadap sesama tak ada? Hadits dengan makna yang hampir sama berbunyi: “Semua makhluk adalah jaminan Allah, maka yang paling dicintai Allah di antara mereka adalah yang paling bermanfaat bagi makhluk-Nya”. (HR At-Thabrani dan Abu Ya’la).

Di zaman ini, banyak kita temui orang muslim yang kaya akan hartanya, tetapi sangat kikir. Dalam prinsip hidupnya, selalu ingin menerima, tetapi sangat berat untuk memberi. Banyak contoh yang terjadi di hadapan kita dan itu sudah biasa terjadi dan manusia menerimanya sebagai hal yang wajar.

Seorang yang ingin mencari kerja di perusahaan-perusahaan, kantor-kantor, atau bahkan sebagai pembantu rumah tangga. Mereka harus mampu mengeluarkan biaya yang cukup besar yang disebut pungli (pungutan liar) agar dapat di terima bekerja. Atau orang miskin yang tidak mampu berobat, untuk mendapatkan biaya berobat gratis dari pemerintah harus membayar pula untuk mendapatkan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) tersebut yang memang seharusnya menjadi hak mereka.

Bukankah mereka pemungli itu hartanya lebih banyak, tetapi mereka selalu meminta kepada orang miskin. Sungguh orang-orang seperti ini sangat tidak bermanfaat bagi manusia yang lain. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang dari dirinya dapat diharapkan kebaikan (seperti infaq)”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah RA). “Walau pun kaya, kalau tak berinfaq, tak ada manfaatnya”. (HR. Thabrani).

Tentang orang yang paling kaya, Rasulullah SAW berpesan: “Bersikap ridhalah engkau terhadap apa yang dibagikan Allah untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya…”. Marilah kita menjadi hamba Allah yang paling kaya dengan meningkatkan tauhid dan takwa kita kepada Allah SWT, sehingga kita mampu bersikap ridha terhadap semua ketentuan Allah SWT terhadap diri kita, termasuk rizki yang telah ditentukan-Nya untuk kita.

Wallahu a’lam bishshsawab.
Mawardi Abd. Wahid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Beri Komentar Ya.. Terima Kasih.. ^_^